Sang Teladan yang Tak Lagi Diteladani
Operator | Minggu, 03 Feb 2012 18:11:28 WIB dibaca 700 x komentar 0 ArtikelGambar : Ilustrasi
Khalifah al-Makmun dan Yahya bin Aktsam, adalah dua sahabat karib. Di masa tuanya, al-Makmun menjadi pemimpin umat Islam sebagai umara’ atau Amirul Mukminin dan Yahya menjadi pemimpin agama sebagai ulama’. Kendati berbeda profesi dan lingkungan pengabdiannya, keakraban diantara keduanya terus terjalin intim.
Suatu ketika, Yahya diminta menginap di kediaman al-Makmun, sekedar untuk bernostalgia “Suatu malam, aku terbangun lantaran kehausan. Akupun gelisah,” tutur Yahya.
Di rumah karibnya yang pemimpin umat Islam itu, Yahya tampak kebingungan mencari minuman, sementara rasa dahaganya terus mengganggu kenyamanan istirahat malamnya. Ke sana ke mari, ia mencari minum, namun yang dicarinya tak kunjung didapatkan. Kegelisahan pun kian menyelimuti dirinya. Kegelisahan inilah yang lantas ditangkap oleh al-Makmun, karibnya itu.
“Hai Yahya, apa yang terjadi padamu?” tanya al-Makmun.
“Aku kehausan,” jawabnya blak-blakan.
Mendengar ini, al-Makmun tak lagi banyak bertanya. Ia lantas bangun dari tempat duduknya, pergi ke belakang dan datang kembali dengan membawa semangkuk air untuk karibnya yang tengah menahan dahaga itu. Tentu saja, Yahya keheranan dengan pelayanan spesial Sang Khalifah ini.
“Wakai Amirul Mukminin, mengapa tidak engkau panggil pelayan saja?” tanyanya heran.
Dalam pandangan Yahya, dengan memanggil pelayan, yang setia setiap saat menuruti titah al-Makmun, maka Sang Amirul Mukminin tidak perlu beranjak sedikitpun, maka segala keperluannya akan terpenuhi seketika. Namun, yang membuat Yahya heran, itu tidak dilakukannya. al-Makmun justru mengambil minuman dengan tangannya sendiri untuk diberikan kepada tamunya. Rupanya ia punya alasan.
“Tidak! Ayahku menerima riwayat dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir. Rasulullah SAW bersabda: Sayyidul qaumi khadimuhum/Pemimpin adalah pelayan rakyatnya”.
Kerena pemimpin itu pelayan rakyat, bukan yang dilayani rakyat, maka al-Makmun pun berupaya melayani Yahya yang nota bene rakyatnya, dengan pelayanan prima plus melalui tangannya sendiri. Dan, uniknya, pelayanan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, bahwa “pemimpin adalah pelayan rakyat”. Dengan demikian, sosok Rasulullah SAW sebagai “uswatun hasanah” benar-benar diteladaninya. Keteladanannya pada Sang Teladan Sejati inilah yang mengantarkannya menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya dan mampu mensejahterakan mereka.
Itulah kisah pelayanan pemimpin besar, yang begitu perhatian dan peduli pada kebutuhan rakyatnya. Ia sigap melakukan tindak penyelamatan, tanpa harus berteori bermacam-macam atau bercuap-cuap berkepanjangan. Tindakan terlebih dahulu dikedepankan, lantas baru menjelaskan alasannya. Inilah kisah luhur yang, antara lain, dicatat oleh Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuti (Tarikh al-Khulafa’, I/287), Abi al-Hasan al-Sabti (Tanzih al-Anbiya’, I/133) dan Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami (Adab al-Shuhbah, I/90).
Memang benar, Rasulullah SAW lah Sang Teladan yang sesungguhnya itu. al-Makmun, para pemimpin dunia, para ulama, dan kita umatnya, sudah selayaknya menempatkannya sebagai “idola” kehidupan, karena beliau memiliki segudang kisah keteladanan pada umatnya. Terkait kepedulian pada rakyat, misalnya, beliau adalah tipe pemimpin yang “menyediakan” dirinya sebagai “pelayan” rakyatnya. Anas bin Malik menceritakan, selama 13 tahun ia melayaninya, selama itu pula beliau tidak pernah mengeluarkan umpatan atau (minimal) teguran atas pekerjaan yang dijalaninya.
“Saya melayani Rasulullah SAW puluhan tahun. Beliau tak pernah menyatakan ‘hus/uff’ sedikitpun. Jika aku melakukan atau meninggalkan sesuatu, beliau tak pernah menyatakan; buat apa atau kenapa kamu melakukan/tidak melakukan ini? Wa kanat khidmatuh lii aktsar min khidmatii lahu/bahkan pelayanan beliau kepadaku lebih banyak ketimbang pelayananku padanya,” tutur Anas, seperti dikisahkan Zain al-‘Abidin al-‘Alawi al-Husaini (al-Ajwibah al-Ghaliyah fi ‘Aqidah al-Firqah al-Najiyah, hal. 25).
Untuk saat ini, mana ada pemimpin yang lebih banyak melayani rakyatnya ketimbang rakyat yang lebih banyak melayaninya, sebagaimana kisah keteladanan pelayanan Rasulullah SAW itu?
Pemimpin yang Berkeringat
Suatu ketika, Rasulullah SAW dengan para shahabatnya hendak memasak kambing. Sebagai komando, beliau dengan cekatan melimpahkan atau mendistribusikan pembagian kerja. Para shahabat pun menawarkan diri untuk mengerjakan keperluan-keperluan itu. Ada yang ingin menyembelih kambingnya, menguliti, atau memasaknya. Ada juga yang sedia mengambil air, menyiapkan tungku, dan sebagainya.
“Saya sendiri akan mencari dan mengumpulkan kayu bakarnya,” ujar beliau.
Mendengar pernyataan Rasulullah SAW ini, para shahabatnya “protes", terkejut dan berkata. “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau lebih baik duduk-duduk saja dan kami yang mencari kayu bakarnya?” sergah shahabat.
Para shahabat ingin, tugas-tugas lapangan biarlah dikerjakan oleh mereka dan Rasulullah SAW tak perlu repot-repot turut melakukannya. Barangkali, dalam bayangan mereka, komando tidak seharusnya terlibat kerja lapangan, sehingga tak perlu bercucuran keringat. Namun ini tak berlaku bagi beliau.
“Saya tahu, kalian bisa menyelesaikan pekerjaan ini. Tapi saya tidak suka diistimewakan. Sesungguhnya Allah SWT tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya,” sergah beliau, sebagaimana dikisahkan Abdul Mun’im al-Hasyimi (Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim, hal. 24-25). Inilah kuncinya; Rasul tidak ingin ada pengistimewaan diantara shahabat-shahabatnya.
Diminta duduk manis dan seluruh perkerjaan lapangan akan ditangani shahabatnya, Rasulullah SAW tidak menghiraukan. Beliau tetap ingin menjadi bagian dari mereka, dengan mengambil salah satu tugas lapangan mencari kayu bakar. Beliau ingin ikut kotor tangannya ketika shahabat yang lain juga kotor tangannya. Beliau ingin berkeringat ketika shahabat yang lain juga berkeringat. Beliau tidak ingin hanya duduk-duduk manis, ongkang-ongkang kaki, tunjuk sana tunjuk sini, perintah sana perintah sini, tanpa ikut terlibat di dalamnya. Inilah keteladanannya, yang kepemimpinannya tidak dibangun di atas telunjuk dan sabdanya, melainkan dibangun di atas keringat dan kebersamaan. Inilah Sang Teladan sejati, pemimpin yang keringatnya terus mengucur karena tak pernah berhenti melayani umatnya.
Bagi seorang teladan sejati, sebagaimana Rasulullah SAW, kemepimpinan tidak melulu urusan dunia. Lebih jauh lagi dan lebih penting lagi, kepemimpinan itu menyangkut pertanggungjawaban dengan Allah SWT di akhirat kelak. Karena itu, dalam menentukan kebijakan apapun, pertimbangan pemimpin tidak seharusnya duniawi/politis an sich. Tujuannya, supaya pemimpin benar-benar mampu menegakkan kemaslahatan bagi rakyat, karena semua tindak-tanduknya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT (LPJ yang tentu saja paling berat dan mustahil dimanipulasi). Itu sebabnya, beliau mengingatkan: “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari).
Bukan Miskin Keteladanan
Secara tersurat, pengakuan terhadap keteladanan Rasulullah SAW ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam Surah al-Ahzab [33] ayat 21. Menurut ayat ini, beliau adalah uswah hasanah (teladan kebaikan), terutama bagi; 1) orang yang mengharapkan Allah SWT, 2) orang yang mengharapkan kehidupan setelah mati, dan 3) orang yang terus-menerus mengingat-Nya. Inilah ciri-ciri dasar pengharapan orang yang saleh, yang tidak menjadikan dunia fana ini sebagai orientasi hidupnya. Hanya Allah SWT dan kehidupan abadi paska dunia fana ini yang terus-menerus menjadi obsesi dan harapannya. Jikapun mengerjakan agenda-agenda keduniaan, maka orientasinya tetap semata Allah SWT dan kehidupan paska dunia ini. Betul, dunia diciptakan untuk kepentingan manusia. Namun manusia itu sendiri diciptakan untuk “kepentingan” Allah SWT dan untuk kehidupan akhirat.
Kendati Rasulullah SAW telah resmi dipredikati uswah hasanah, idola kehidupan, ternyata tak semua umatnya (baik yang pemimpin, ulama maupun rakyat) mampu dan sanggup menangkap spirit keteladanannya. Hanya orang yang memiliki tiga pengharapan itu yang bisa mencerapnya, lantaran keteladanannya senantiasa menggiring pada Allah SWT. Inilah inti dari seluruh gugusan risalah kenabian yang diembannya.
Namun demikian, kita harus tetap “berbesar hati”, karena kita sebagai “yang meneladani” dan beliau sebagai “yang diteladani”, sesungguhnya hanya berbeda “sedikit” saja. Beliau sedikit makan, kita sedikit-sedikit makan. Beliau sedikit tidur, kita sedikit-sedikit tidur. Beliau sedikit marah, kita sedikit-sedikit marah. Beliau sedikit tertawa, kita sedikit-sedikit tertawa. Beliau sedikit-sedikit menangis, kita sedikit menangis. Beliau sedikit-sedikit sedekah, kita sedikit sedekah. Beliau sedikit-sedikit beramal, kita sedikit beramal. Beliau sedikit-sedikit shalat, kita sedikit shalat. Beliau sedikit-sedikit melayani umat, kita sedikit melayani. Beliau sedikit-sedikit bertanya tentang umat, kita sedikit bertanya. Beliau sedikit-sedikit memikirkan umatnya, kita sedikit memikirkan.
Inilah jika Sang Teladan tak lagi diteladani. Inilah pangkal kerusakan kehidupan. Kita, baik yang memimpin maupun yang dipimpin, harus menjadikan dan mengembalikan Rasulullah SAW sebagai Sang Teladan Sejati untuk kita ikuti sungguh-sungguh keteladanannya; baik beliau sebagai pemimpin umat dan agama, manusia biasa, sahabat, kepala keluarga, suami, ayah, zahid/pertapa, pemimpin perang, pedagang, pelayan, atau apapun. Sebenarnya bukan karena kita miskin keteladanan, melainkan miskin kesadaran meneladani. Inilah yang mesti direnungi dari peringatan milad Baginda Agung. Wa Allah a’lam.